Pernah mendengar Qismul Arqa, Pondok
Muhammadiyah, atau Kweekschool Muhammadijah? Nama-nama tersebut
merupakan serentetan nama yang pernah disandang Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah dalam sejarahnya. Sebuah institusi pendidikan yang di dirikan untuk
melahirkan calon-calon guru sekolah Muhammadiyah.
Berawal dari sebuah permasalahan yang
dialami oleh K.H. Ahmad Dahlan ketika menjadi President Hoofdbestuur Muhammadiyah,
yaitu banyak permintaan tenaga guru sekolah-sekolah Muhammadiyah. Khatib Amin
berinisiatif mengumpulkan 9 anak lulusan Standaarschool (Sekolah kyai)
untuk digembleng menjadi calon-calon tenaga guru. Terbentuklah kelas yang
dinamakan al-Qismul Arqa pada tahun 1919.
Secara bahasa, Al-qism berarti “Bagian” dan Al-arqa berarti “Pertumbuhan”. K.H. Ahmad Dahlan
membentuk Al-Qismul Arqa sebagai kelas lanjutan dari jenjang standaarschool Moehammadijah
pada waktu itu. Tidak tanggung-tanggung, yang menjadi santri diawal
pembentukannya merupakan 9 anak lulusan sekolah Kyai dengan wawasan keagamaan
yang luas. Dalam prosesnya pun dibuat sedemikian rupa, sehingga lulusan al-Qismul
Arqa siap menjadi guru di lingkungan Muhammadiyah. Mengintip dari
sejarahnya, pendirian Qismul Arqa benar benar berawal dari proses pendidikan
yang matang.
Pendidikan
Mu’allimin sudah seharusnya diarahkan sesuai dengan harapan saat pendirian
awalnya. Nama Mu’allimin akan selalu lekat dikenang masyarakat sebagai
institusi penghasil kader yang siap berperan mendidik umat dan bangsa. Model
pembelajaran seperti praktik mengajar dan Mujanib merupakan sedikit gambaran sistem
pendidikan yang diarahkan ke ranah tersebut.
Akan
tetapi yang perlu diingat, kehidupan manusia selalu Dinamis,
pendidikan dahulu yang cocok diterapkan ke santri tidak selamanya cocok jika
diterapkan ke santri zaman sekarang. Artinya, aspek Psikologis
manusia menjadi salah satu ukuran dalam menentukan proses pendidikan yang
tepat. Proses pendidikan dapat berkembang atau menyesuaikan-sesuai dengan
perubahan karakter atau sifat santri yang dididik.
Tantangan globalisasi menjadi hal super
yang harus dihadapi dunia pendidikan. Semakin bervariasinya karakter santri dan
semakin banyaknya aspek negatif yang mempengaruhi menjadi halang rintang bagi
pendidikan. Begitu pula model pendidikan Al-Qismul Arqa senantiasa mengalami perkembangan dari
masa-kemasa.
Entah ketika tersemat nama Pondok Muhammadiyah, ataupun ketika Kweekschool
Muhammadijah. Walaupun senantiasa mengalami perubahan, intisari pendidikan
Mu’allimin sebagai sekolah calon pendidik tetap lekat dipegang.
Salah satu contoh nyata yaitu filosofi
pendidikan yang dianut ketika Mu’allimin bernama kweekschool Moehammadijah, yaitu
tidak terlepas dari dua aspek. Aspek yang hendak dipertahanaan, tetapi ada
aspek yang perlu diperbaiki. Aspek yang dipertahankan adalah keyakinan dan
nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Aspek yang perlu diperbaiki adalah Mindset atau cara pandang umat Islam. Mindset
inilah yang senantiasa mengalami perkembangan sedangkan keyakinan tetap teguh
dipertahankan.
Perubahan dalam sistem pendidikan
Mu’allimin memang perlu dalam mengimbangi perubahan zaman yang terjadi. Tapi
hendaknya setiap perubahan tetap memerhatikan substansi dari tujuan awal bahwa
Mu’allimin merupakan sekolah calon pendidik.
Awal mulanya, Al-Qismul
Arqa hanya
mengajarkan wawasan keislaman. Pada perkembangannya, ilmu pengetahuan umum
dipadukan dengan wawasan keislaman dalam pembelajaran, dan ini menjadikan
Mu’allimin sebagai pondok pertama di Yogyakarta yang memadukan kedua ilmu
tersebut. Karena dahulu ilmu umum dianggap sebagai ilmu sekunder oleh pondok
pesantren pada umumnya. Tidak heran jika Mu’allimin pada masanya menjadi pondok
yang dikenal modern dari sisi keilmuan maupun gedungnya.
Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia
entah mengapa saat ini sering terburu-buru dalam menentukan kebijakannya demi
menyesuaikan perubahan zaman. Contohnya saja kurikulum 2013 yang masih hangat
direlease. Banyak akademisi menilai pemerintah terlalu terburu-buru dalam
merubah sistem pendidikan. Majelis Guru Besar ITB memperkuat fakta tersebut
dengan mengkritisi lahirnya kurikulum yang terkesan tergesa gesa. Sebaiknya hal
ini tidak menjadi sifat yang menurun keranah institusi yang lebih kecil yakni Mu’allimin.
Kebijakan pembekuan Mujanib sangat diharapkan merupakan
kebijakan yang lahir dari berbagai pertimbangan matang dan tidak tergesa gesa.
Bangsa kita memang seringkali menggunakan
istilah yang “wow” dalam menyambut perubahan. contohnya “Reformasi” atau
sebutan sebutan untuk kurikulum “KBK”, “KTSP”, dll. Tidak jarang istilah
tersebut memburamkan substansi yang seharusnya diperjuangkan. Pertanyaan yang
mungkin bisa menjadi Representasi dari opini tersebut, apakah
setelah Reformasi
kesejahteraan rakyat Indonesia berkembang pesat? Aspirasi tersalurkan secara
adil? Atau Korupsi semakin menipis? Apapun nama yang diambil dalam perubahan
sistem di Mu’allimin hendaknya tidak mengaburkan intisari pendidikan yang
ada.
Saat ini, Mu’allimin dihadapkan dengan
kenyataan baru, yakni perubahan kurikulum oleh pemerintah Indonesia. Alasan untuk mengubah kurikulum
lebih didorong oleh masalah yang dihadapi generasi muda seperti perkelahian
pelajar, narkoba, korupsi, maupun plagiatisme. Perubahan kurikulum ini tidak
lain untuk menuju pembentukan karakter bangsa melalui pendidikan.
Mu’allimin
sebagai sekolah dengan long-life-educationnya dan menjadi pondok modern
yang menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu umum diharapkan mampu menjadi
pelopor dalam pendidikan karakter (leading in character education). Sebagai
institusi pencetak kyai (pada zaman Qismul Arqa) atau guru dan kader, tentunya dituntut
menghasilkan lulusan yang memiliki karakter baik. Walaupun istilah “Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari” tidak tepat, tetapi seorang guru memang
akan selalu menjadi percontohan dimanapun.
Akhirnya
penulis berharap dalam dinamika pendidikan tetap perlu memperhatikan aspek
historis dan filosofis. Pesan-pesan terdahulu pendiri almamater tercinta
kita hendaknya kita lanjutkan sebagai ghirah perjuangan dalam amar makruf
nahi munkar. Karena dengan selalu berpegang pada prinsip keislaman yang
benar, tentu mengarahkan kejalan Ridho Ilahi. “Jas Merah (jangan
melupakan sejarah)” begitu kata Bung Karno, karna dari sejarah banyak nilai
nilai mutiara yang terpendam dan bisa kita ambil hikmahnya. Sekarang tinggal
bagaimana pemegang estafet perjuangan sekolah kader ini mengarahkan Mu’allimin
kearah tujuan yang benar dan baik.
Azhar Nasih Ulwan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar