Rabu, 12 Juni 2013

Mu’alliminku, Arah Mana Yang Kau Tuju?

Pernah mendengar Qismul Arqa, Pondok Muhammadiyah, atau Kweekschool Muhammadijah? Nama-nama tersebut merupakan serentetan nama yang pernah disandang Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah dalam sejarahnya. Sebuah institusi pendidikan yang di dirikan untuk melahirkan calon-calon guru sekolah Muhammadiyah.
Berawal dari sebuah permasalahan yang dialami oleh K.H. Ahmad Dahlan ketika menjadi President Hoofdbestuur Muhammadiyah, yaitu banyak permintaan tenaga guru sekolah-sekolah Muhammadiyah. Khatib Amin berinisiatif mengumpulkan 9 anak lulusan Standaarschool (Sekolah kyai) untuk digembleng menjadi calon-calon tenaga guru. Terbentuklah kelas yang dinamakan al-Qismul Arqa pada tahun 1919.
Secara bahasa, Al-qism berarti “Bagian” dan Al-arqa berarti “Pertumbuhan”. K.H. Ahmad Dahlan membentuk Al-Qismul Arqa sebagai kelas lanjutan dari jenjang standaarschool Moehammadijah pada waktu itu. Tidak tanggung-tanggung, yang menjadi santri diawal pembentukannya merupakan 9 anak lulusan sekolah Kyai dengan wawasan keagamaan yang luas. Dalam prosesnya pun dibuat sedemikian rupa, sehingga lulusan al-Qismul Arqa siap menjadi guru di lingkungan Muhammadiyah. Mengintip dari sejarahnya, pendirian Qismul Arqa benar benar berawal dari proses pendidikan yang matang.
            Pendidikan Mu’allimin sudah seharusnya diarahkan sesuai dengan harapan saat pendirian awalnya. Nama Mu’allimin akan selalu lekat dikenang masyarakat sebagai institusi penghasil kader yang siap berperan mendidik umat dan bangsa. Model pembelajaran seperti praktik mengajar dan Mujanib merupakan sedikit gambaran sistem pendidikan yang diarahkan ke ranah tersebut.
            Akan tetapi yang perlu diingat, kehidupan manusia selalu Dinamis, pendidikan dahulu yang cocok diterapkan ke santri tidak selamanya cocok jika diterapkan ke santri zaman sekarang. Artinya, aspek Psikologis manusia menjadi salah satu ukuran dalam menentukan proses pendidikan yang tepat. Proses pendidikan dapat berkembang atau menyesuaikan-sesuai dengan perubahan karakter atau sifat santri yang dididik. 
Tantangan globalisasi menjadi hal super yang harus dihadapi dunia pendidikan. Semakin bervariasinya karakter santri dan semakin banyaknya aspek negatif yang mempengaruhi menjadi halang rintang bagi pendidikan. Begitu pula model pendidikan Al-Qismul Arqa senantiasa mengalami perkembangan dari masa-kemasa. Entah ketika tersemat nama Pondok Muhammadiyah, ataupun ketika Kweekschool Muhammadijah. Walaupun senantiasa mengalami perubahan, intisari pendidikan Mu’allimin sebagai sekolah calon pendidik tetap lekat dipegang.
Salah satu contoh nyata yaitu filosofi pendidikan yang dianut ketika Mu’allimin bernama kweekschool Moehammadijah, yaitu tidak terlepas dari dua aspek. Aspek yang hendak dipertahanaan, tetapi ada aspek yang perlu diperbaiki. Aspek yang dipertahankan adalah keyakinan dan nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Aspek yang perlu diperbaiki adalah Mindset atau cara pandang umat Islam. Mindset inilah yang senantiasa mengalami perkembangan sedangkan keyakinan tetap teguh dipertahankan.
Perubahan dalam sistem pendidikan Mu’allimin memang perlu dalam mengimbangi perubahan zaman yang terjadi. Tapi hendaknya setiap perubahan tetap memerhatikan substansi dari tujuan awal bahwa Mu’allimin merupakan sekolah calon pendidik.
Awal mulanya, Al-Qismul Arqa hanya mengajarkan wawasan keislaman. Pada perkembangannya, ilmu pengetahuan umum dipadukan dengan wawasan keislaman dalam pembelajaran, dan ini menjadikan Mu’allimin sebagai pondok pertama di Yogyakarta yang memadukan kedua ilmu tersebut. Karena dahulu ilmu umum dianggap sebagai ilmu sekunder oleh pondok pesantren pada umumnya. Tidak heran jika Mu’allimin pada masanya menjadi pondok yang dikenal modern dari sisi keilmuan maupun gedungnya.
Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia entah mengapa saat ini sering terburu-buru dalam menentukan kebijakannya demi menyesuaikan perubahan zaman. Contohnya saja kurikulum 2013 yang masih hangat direlease. Banyak akademisi menilai pemerintah terlalu terburu-buru dalam merubah sistem pendidikan. Majelis Guru Besar ITB memperkuat fakta tersebut dengan mengkritisi lahirnya kurikulum yang terkesan tergesa gesa. Sebaiknya hal ini tidak menjadi sifat yang menurun keranah institusi yang lebih kecil yakni Mu’allimin. Kebijakan pembekuan Mujanib sangat diharapkan merupakan kebijakan yang lahir dari berbagai pertimbangan matang dan tidak tergesa gesa.
Bangsa kita memang seringkali menggunakan istilah yang “wow” dalam menyambut perubahan. contohnya “Reformasi” atau sebutan sebutan untuk kurikulum “KBK”, “KTSP”, dll. Tidak jarang istilah tersebut memburamkan substansi yang seharusnya diperjuangkan. Pertanyaan yang mungkin bisa menjadi Representasi dari opini tersebut, apakah setelah Reformasi kesejahteraan rakyat Indonesia berkembang pesat? Aspirasi tersalurkan secara adil? Atau Korupsi semakin menipis? Apapun nama yang diambil dalam perubahan sistem di Mu’allimin hendaknya tidak mengaburkan intisari pendidikan yang ada. 
 Saat ini, Mu’allimin dihadapkan dengan kenyataan baru, yakni perubahan kurikulum oleh pemerintah Indonesia. Alasan untuk mengubah kurikulum lebih didorong oleh masalah yang dihadapi generasi muda seperti perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, maupun plagiatisme. Perubahan kurikulum ini tidak lain untuk menuju pembentukan karakter bangsa melalui pendidikan.
Mu’allimin sebagai sekolah dengan long-life-educationnya dan menjadi pondok modern yang menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu umum diharapkan mampu menjadi pelopor dalam pendidikan karakter (leading in character education). Sebagai institusi pencetak kyai (pada zaman Qismul Arqa) atau guru dan kader, tentunya dituntut menghasilkan lulusan yang memiliki karakter baik. Walaupun istilah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” tidak tepat, tetapi seorang guru memang akan selalu menjadi percontohan dimanapun. 
            Akhirnya penulis berharap dalam dinamika pendidikan tetap perlu memperhatikan aspek historis dan filosofis. Pesan-pesan terdahulu pendiri almamater tercinta kita hendaknya kita lanjutkan sebagai ghirah perjuangan dalam amar makruf nahi munkar. Karena dengan selalu berpegang pada prinsip keislaman yang benar, tentu mengarahkan kejalan Ridho Ilahi. “Jas Merah (jangan melupakan sejarah)” begitu kata Bung Karno, karna dari sejarah banyak nilai nilai mutiara yang terpendam dan bisa kita ambil hikmahnya. Sekarang tinggal bagaimana pemegang estafet perjuangan sekolah kader ini mengarahkan Mu’allimin kearah tujuan yang benar dan baik.

Azhar Nasih Ulwan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar